Idola KBBI orang, gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan. Idol English; Merriam-Webster’s Dictionary 1 perwujudan atau simbol sebuah obyek peribadatan; 2 tuhan palsu; 3 sesuatu yang menyerupai, orang yang gemar berpura-pura, penipu yang lihai impostor; 4 bentuk/ penampilan yang tampak tanpa substansi; 5 momok, hantu, setan yang memesona; 6 obyek yang sangat digemari; 7 bersifat ideal idaman; 8 konsep yang salah; 9 buah pikiran yang keliru. Seorang tokoh nasional mencemaskan hasil penelitian yang memaparkan banyaknya anak muda bangsa ini yang mengidolakan tokoh-tokoh radikalis. Kalau melihat siapa saja yang menempati urutan pertama idola anak muda masa kini berdasarkan penelitian itu, barangkali kita memang layak cemas. Selebritas cantik/ tampan – di Indonesia, rupa/ fisik lazim diutamakan ketimbang kualitas karya – dan tokoh berbagai bidang politik, keilmuan, kerja sosial-kemasyarakatan, keluarga ningrat hingga keagamaan yang sering diberitakan dan atau banyak disebut warganet di medsos boleh jadi sekali waktu memang layak dipuji bahkan dikagumi . Rupa cantik/ tampan memang segera menarik perhatian dan mencetuskan kata pujian. Mereka yang kesehariannya cukup religius mungkin akan menyebut, “Subhanallah …”, “Amitabha …” atau “Puji Tuhan!” bahkan keminggris “OMG …” dan yang biasa-biasa saja berusaha melihat atau meliriknya lebih lama. Kalau orangnya public figure, banyak yang segera menyiapkan ponsel untuk meminta selfie bersamanya. Kalau perlu … dilakoni antre! Demikian pula tentang tokoh-tokoh lainnya. Tentang mereka selalu ada yang menarik untuk diberitakan dan disebarluaskan. Pendeknya, sosok idola diberi predikat istimewa, layak dikagumi dan dihormati sebagai pemberi inspirasi dan atau motivasi, trend setter, harus diberi posisi yang lebih tinggi. Tingkah laku mereka diteladani. Gaya mereka diikuti. Cara bicara mereka dipelajari. Berita tentang mereka selalu dinanti. Foto mereka terpajang di mana-mana. Pengagum fanatik’ bahkan mengoleksi dan memajang di ruang pribadinya supaya mudah merasa jadi orang terdekat idolanya. Padahal, menjadi orang terkenal tak selalu menyenangkan. Mereka seolah-olah ikan dalam akuarium. Kebebasan’ mereka sangat terbatas, privacy mereka sering terganggu. Karena itu, mungkin saja ada di antara mereka yang – kalau bisa – ingin kembali menjadi orang biasa’, kendati tak sedikit yang tampak menikmati popularitasnya dan berusaha mempertahankannya melalui berbagai cara. Ada yang melakukannya dengan terus berusaha mengukir prestasi. Ada pula yang seolah-olah narima ing pandum karena sudah kadung ditokohkan. Tapi tak kurang yang kemudian jadi pribadi yang aneh, bertolak belakang dengan gambaran ideal di mata para pengagumnya. Karena itulah beberapa tahun lalu saya menulis status “Bersiaplah kecewa, jika idolamu adalah seorang yang masih hidup dan belum selesai bercermin untuk mematut penampilannya.” Namun tak sulit kita maklumi, yang kecewa pun ada yang tak mau berpaling dengan alasan yang hanya mereka sendiri pahami. Orang yang masih hidup tak pernah tahu masa depannya kendati dia sendirilah yang menentukannya. Salah ucap apalagi salah langkah, ia bisa jadi serupa kaca yang hancur terkena palu penggemarnya sendiri. Yang bermental baja mungkin akan mau dan karenanya mampu berjuang lagi untuk memulihkan harga dirinya. Dan yang sudah kepalang basah’ mungkin malah ragu untuk kembali. Di negeri ini pemeo “Anjing menggigit manusia bukan berita, manusia menggigit anjing adalah berita” atau “Bad news is good news” barangkali sudah dianggap antik. Di era informasi-komunikasi tergenggam di tangan sendiri sekarang ini, apapun bisa disebarluaskan tanpa perduli benihnya berisi atau kopong dan jatuhnya ke tanah terolah atau laut atau api. Dulu dia idola banyak pemuda. Sekarang beliau justru jadi tertawaan mereka yang berusaha tetap seger-waras. Cemplang-cemplung-nya sudah tak dianggap lagi. “Kalau begini maka begitu”-nya sudah tidak ampuh lagi. Idolalho … Dulu dia idola banyak ibu. Sekarang dia sibuk memulihkan citra diri. Tapi mungkin saja dia sudah lupa caranya jadi idola, sehingga yang dilakukannya serba salah dan tak layak jual lagi. Barangkali baru sekarang disadarinya, menerima sering lebih sulit daripada memberi. Idolalho … Dulu dia idola yang karya-karyanya dikagumi. Sekarang dia mungkin sudah buntu inspirasi selain bersilat menghindari caci maki. Telanjur sesat, penampilan dan ambisinya selalu hanya bikin kheki. Idolalho … Dulu dia dipuja-puji gagah perwira dengan semboyan Seribu teman terlalu sedikit, seorang musuh terlalu banyak”. Kini dia malah sering dirundung dan karya ajaib di luar tupoksi-nya tak pernah disinggung. Idolalho … Dulu dia bergaya dengan julukan singa bermikrofon ganda. Kini dia mengasingkan diri’ dengan banyak alasan yang membingungkan semua, mungkin termasuk pengikutnya sendiri. Menjadi terkenal itu gampang, tapi bijak bestari bagai nabi itu harus berani mati dan atau berani hidup. Idolalho … Kita tidak mungkin bisa melarang orang lain menyukai atau tidak menyukaimu, dia, atau aku. Kita juga boleh – bahkan baik sekali – memuji dan mengagumi siapa pun yang layak diteladani. Tapi mengidolakan yang masih hidup perlu pertimbangan matang dan perjalanan yang panjang. Kalau sulit, sebaiknya sama sekali tidak usah melakukannya. Pujian yang berlebihan mungkin setara bahayanya dengan nyinyiran yang tak berkesudahan. Yang masih doyan sate kambing dan pisang sebaiknya berkaca!